Naskah buku yang berkualitas adalah dambaan setiap penerbit. Hampir dipastikan penerbit hanya akan menerbitkan naskah-naskah yang berkualitas. Naskah yang berkualitas tidak hanya memiliki bobot isi yang baik, tapi juga bidikan pasar yang marketable. Bobot isi yang baik tidak terletak pada tema yang diangkat. Tema tidak menentukan apakah sebuah buku—meminjam istilah Hernowo—“bergizi” atau tidak. Tema hanya menentukan selera.
Lalu, apa saja yang membuat naskah buku berkualitas ?
Tentu, di samping materi yang berbobot, paling tidak ada 2 hal yang patut diperhatikan menyangkut naskah yang berkualitas:
Pertama, bahasa buku. Sehebat apapun materi yang disajikan, tapi penataan bahasanya kacau—tidak memenuhi kaidah-kaidah reasoning (penalaran)—naskah buku tersebut akan menjadi tidak
menarik. Karenanya, bahasa perlu diolah sedemikian rupa agar ketika naskah dibaca, terasa enak, mengalir, mudah dicerna, dan mengasyikkan, serta merangsang nalar.
Untuk membuat sebuah bahasa yang mampu merangsang nalar, maka, 1) susunan kalimat dan gerombolannya harus logis. 2) seluruh kalimatnya diupayakan memiliki diksi (pilihan kata) yang indah dan menggairahkan. 3) penyajian keseluruhan bahasa memiliki koherensi (keterkaitan) dan komposisi (ketersusunan) yang selain harmonis juga menyimpulkan.
Kedua, mengemas “daya pikat”. Sebuah buku, dikatakan berkualitas, selain karena materinya oke, bahasanya tertata dengan baik, juga karena tampilan bukunya yang memikat. Untuk naskah buku, tak banyak yang bisa diperbuat oleh penulis untuk mengemas daya pikat. Pihak penerbit yang banyak berperan.
Tapi, membuat judul yang “menggigit”, satu dari banyak hal yang bisa dilakukan oleh penulis untuk mendongkrak kualitas naskah buku. Perhatikan buku-buku yang berhasil best seller, judul-judulnya menggigit bukan? Bahkan acapkali judulnya lebih “menggigit” ketimbang isi buku itu sendiri.
Dalam sebuah acara diskusi buku Seks In The Kost di Aula Fakultas Psikologi Unair Surabaya, Iip Wijayanto pernah diprotes dengan judul bukunya itu yang teramat provokatif. Isi buku itu dinilai beda jauh dengan judulnya. Karenanya Iip dituding hanya mengejar keuntungan.
Dari aspek judul, buku-buku Iip memang cukup kontroversial. Di antaranya, 97,05 Persen (hasil penelitian tentang virginitas mahasiswi Jogja), Seks In The Kost, Seks Kalangan Terpelajar, dan Kampus Fresh Chiken. Tapi kalau membaca isinya, buku-buku itu lebih kepada analisis seks menggunakan ilmu tasawuf.
Apa kata Iip? Iip mengaku sengaja memilih judul-judul yang kontroversial dan komersial. Bagi Iip, judul buku yang “heboh” itu adalah strategi saja. Karena, menurutnya, kalau judul bukunya mengandung unsur religius, maka pangsa pembacanya hanya kalangan tertentu. Judul-judul yang “heboh” merupakan strategi agar pesan dakwah sampai ke banyak kalangan.
Maka, tak heran bila buku-buku Iip dapat menembus angka penjualan yang lumayan spektakuler. Buku Seks In The Kost-nya Iip misalnya, terjual 20.000 eksemplar pada dua bulan pertama.
Terlepas dari benar-tidaknya apa yang dilakukan Iip, “kasus” judul-judul Iip yang kontroversial, memberi pelajaran kepada kita pentingnya membuat judul yang “menggigit”.
Membangun Tradisi Membaca, Kunci Utama Menjadi Penulis Buku (1)
Termasuk pula ketika seseorang ingin menapak jalan menuju kesuksesan sebagai seorang penulis buku, maka tak pelak ia terlebih dahulu harus membangun tradisi membaca yang kuat dalam hidupnya. Tanpa ini, maka hampir dipastikan jalan untuk menjadi penulis buku yang sukses akan sia-sia.
Logikanya sederhana, menulis buku tentu berhubungan dengan banyak hal yang berbasis pada ilmu, informasi, dan pengetahuan. Dan kesemua hal itu hanya bisa diperoleh dari hasil kerja membaca, baik membaca dalam arti tekstual seperti membaca buku, atau pun membaca dalam arti kontekstual seperti membaca alam atau peristiwa kehidupan.
1. Teori Kendi
Ada sebuah teori sederhana yang bisa menjadi bahan untuk menjelaskan pentingnya “membaca” (sebagai proses menyerap ilmu dan informasi) sebagai kunci bagi seseorang yang ingin menjadi penulis buku. Teori itu adalah “teori kendi”.
Pernah Anda melihat kendi ? Benda yang sederhana dan terbuat dari tanah liat yang dibakar itu ternyata menyimpan sebuah teori yang sangat penting, khususnya mengenai menulis buku.
Sebuah kendi, ada kalanya diisi air. Namun, kadang juga airnya ditumpahkan untuk diminum. Kendi itu akan tumpah airnya seandainya dimasuki air terus-menerus. Lalu apa hubungannya antara kendi dengan menulis buku ?
Menulis buku pun tidak jauh berbeda dengan kendi. Diibaratkan kendi itu adalah tubuh manusia. Seseorang yang jenius sekalipun tidak akan bisa menulis buku kalau tak pernah memberi “air” dalam “kendinya”. Air itu adalah ilmu, pengetahuan, data, informasi, pengalaman, pengamatan, dan lain-lain. Tentu kita tidak akan bisa menulis buku tentang “pendidikan seks Islami”, misalnya, apabila kita tak pernah menyerap ilmu, pengetahuan, informasi, tentang hal itu.
Serupa dengan teori kendi adalah “teori ember” yang dikemukakan oleh YB. Mangunwijaya. Dalam wawancara dengan majalah sastra Horison (XXI/365-367) YB. Mangunwijaya mengatakan yang intinya adalah, bahwa penulis itu ibarat ember yang penuh berisi air. Jika ember ini diisi air lagi, pasti ada air yang akan luber. Penulis diandaikan penuh (secara relatif) oleh pengetahuan, apa pun itu. Kalau ia “diisi” (dalam arti membaca) pasti lama-lama akan ada “luber”, maksudnya dibagikan kepada khalayak ramai melalui karya tulisan.
2. Penulis (Buku) yang Baik adalah Pembaca (Buku) yang Baik Pula
Untuk itu, tradisi membaca memang merupakan tradisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi seorang calon penulis buku. Seorang penulis (buku) yang baik tentu adalah juga seorang pembaca (buku) yang baik pula. Karena seorang penulis buku haruslah seorang yang kaya wawasan. Menulis buku berarti memberi informasi atau wawasan kepada masyarakat. Sehingga seorang penulis buku haruslah “lebih pandai” dari pembacanya.
Dengan tradisi membaca pula, banyak pengetahuan yang akan didapat dan wawasan pun akan kian luas membentang. Pengetahuan yang banyak dan wawasan yang luas adalah “bahan baku utama” yang siap “dimasak” menjadi aneka buku yang akan dinikmati masyarakat. Dengan banyak membaca pula seorang penulis akan selalu produktif menghasilkan karya dan tidak akan kehabisan ide.
Strategi Menutup Artikel
Menutup artikel tidaklah sesulit membuat pembukanya (intro). Meski demikian, keduanya sama-sama penting. Bisa juga dengan menggunakan teori yang sama seperti teknik membuka artikel.
Bedanya, kalau pembuka, mengantarkan pembaca untuk memasuki emosi pemikiran penulis, sementara penutup artikel berfungsi sebagai penyampai gagasan utama, atau kabar kepada pembaca, bahwa tulisan sudah berakhir.
Bayangkan, bagaimana jadinya jika sebuah tulisan tidak ada penutupnya? Pasti hambar rasanya. Kita bisa menutup artikel dengan 7 hal berikut.
1. Menyampaikan Kembali Ide Pokok
Ide pokok sebenarnya sudah terurai di sebuah tulisan yang sedang digarap. Namun di alinea paling akhir, nyatakan kembali ide pokok itu. Cuma, dengan bahasa (kata-kata) yang berbeda. Tetapi muatan utamanya sama, sebagaimana tertuang dalam tulisan tersebut.
Misal, sebuah artikel berjudul “Utang Ibadah yang Mulia” (MQ, Oktober 2003). Ditulis oleh Purdi E. Chandra seorang Presdir Primagama Group. Ia menjelaskan, untuk berani membuka usaha walau pun dengan jalan hutang. Kita perhatikan alinea penutupnya.
Utang bukan pantangan untuk mengembangkan usaha, mungkin sedikit memelesetkan pesan Bung Karno menjadi “gantungkan utangmu setinggi langit”. Dengan utang, kita bisa kembangkan bisnis dan membuka peluang bekerja pada banyak orang. Itu sebuah ibadah yang mulia. Jadi, tak keliru kalau saya berkeyakinan bahwa utang untuk bisnis adalah sebuah ibadah yang mulia. Anda setuju?
2. Mengajak Pembaca untuk Beraksi
Artikel ditulis untuk mempengaruhi pembaca agar segera beraksi. Melakukan hal-hal yang semestinya menurut penulis harus dilaksanakan. Contoh ini bisa kita tiru dalam “Al-Aqsha, Nurani yang Terkoyak”, tulisan ASM. Romli (MQ, Oktober 2003).
Selayaknya, paling tidak setiap peringatan Isra Mi’raj (27 Rajab) umat Islam memikirkan dan memprogram pola perjuangan bagi pembebasan Yerusalem (Palestina), menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap Al-Aqsha di kalangan umat, sehingga rakyat muslim di berbagai negara dapat mendesak pemerintahnya untuk bersatu dengan pemerintah muslim lain, demi pembebasan Yerusalem. Wallahu a’alam.”
3. Do’a atau Harapan
Ada kalanya artikel ditulis dengan nada permohonan atau harapan. Biasanya tulisan semacam ini, dilatarbelakangi oleh berbagai kejadian sebelumnya yang dianggap belum optimal.Namun bisa juga ditulis karena masa depan yang akan diraih masih dalam tahap perhitungan-perhitungan tertentu atau belum jelas.
Kita simak kata penutup tulisan H. Rachmat M.A.S berjudul “Benang Hitam Khusus di Malam Gelap” (Pikiran Rakyat,15 September 2003).
Ya Allah Yang Maha Melindungi, lindungilah Bandung dan pemerintahannya dari manusia-manusia yang berniat jahat mau mencari di atas penderitaan rakyat. Ya Allah, ya Tuhan kami, berikanlah kebaikan dunia dan kebaikan akhirat kepada kami dan lindungilah kami dari api neraka. Amiin.
4. Kesimpulan dari Sudut Kronologios
Banyak yang menulis artikel dengan cara beberapa judul kecil (sub jusdul). Model ini, penutupnya, bisa menggunakan gaya dengan cara menuturkan simpulan kronologis. Uraian sangat singkat batang tubuh tulisan.
Contoh demikian terdapat dalam “Relevansi Dakwah dan Toleransi Beragama”, tulisan Yusuf Burhanuddin (Republika, 22 Agustus 2003). Yusuf membuat judul kecil dengan, “Epistomologi Dakwah”, “Tujuan Dakwah”, dan “Realitas Kosmologis.”
Toleransi akhirnya menjadi keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dalam menata khidupan bersama. Dan bukanlah semata bertujuan untuk meng’agama’kan seluruh segmen kehidupan melainkan bagaimana mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan terutama dalam enghargai keragaman. Wallahu a’alam.
5. Anekdot
Pesan: kritik sosial, cukup efektif dengan menggunakan humor. Tidak keras, tapi sasarannya tercapai serta mengena di hati pembaca.
Misal, kita menulis tentang “Rendahnya Budaya Berpikir di Kalangan Masyarakat Indonesia”. Kita bisa menutup humor seperti di bawah. Saya tidak tahu persis siapa pencipta anekdot ini.
Suatu saat di Jerman ada pameran otak. Otak yang paling mahal adalah otak yang jarang digunakan untuk berpikir. Sebaliknya, otak yang sudah rusak nilai jualnya rendah, sebab terus menerus digunakan untuk berpikir. Otaknya difungsikan. Ternyata, seluruh pengunjung pameran menyerbu stand Indonesia untuk membeli otak-otak orang Inonesia. Karena otaknya masih utuh.
6.Dalil Naqli
Tidak sedikit penulis memilih gaya tulisannya dengan menuliskan tujuan di akhir alinea. Tujuan tertinggi yaitu tujuan yang dianggap sesuai dengan firman Allah atau sabda Rasul-Nya.
Misal, untuk menutup artikel bertema “Keutamaan Ilmu”, kita akhiri dengan sabda Nabi Muhammad Saw. mengenai ilmu:
“Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu,ia berada di jalan Allah. Dan tinta seorang pandai adalah daripada darah seorang syahid.”
7. Kutipan Seorang Praktisi
Menutup artikel dapat juga dengan mengutip pernyataan tokoh tertentu. Sesuai dengan bahasan yang kita garap. Menulis masalah hukum, ambillah misalnya pernyataan dari Adnan Buyung Nasution. Tentang cerpen, kutiplah Helvy Tiana Rosa. Masalah seputar perbukuan, kutiplah Bambang Trim, dan seterusnya.
Contoh: kita mengurai tentang “Kebebasan dalam Menulis Puisi”. Selama ini banyak tata cara dan formula menulis puisi. Kita ingin bebas berekspresi dalam hal bahasa. Lalu kutiplah pernyataan penyair “liar” Emha Ainun Nadjib yang mendukung isi tulisan kita.
Puisi itu semacam bagian ruh dalam, suatu kesadaran atau suatu pengalaman, yang bisa diungkapkan dengan berbagai jenis bahasa.
Strategi Membuat Judul
Roesli Lahani Yunus dengan gaya kocak mengibaratkan judul sebagai wajah perempuan dalam tatapan laki-laki. Kita kutip suatu alenia penuh.
“Umumnya kaum pria selalu memulai daya pandanganya yang ditujukan pada kaum wanita, tertukik pada bagian kepala, yaitu muka wanita itu. Kemudian matanya, bibirnya, hidungnya, dagunya, rambutnya, dadanya, dan terus sampai ke ujung kaki. Akan lebih senang lagi pria melihatnya bila wanita itu tersenyum manis, pertanda hatinya baik dan berbudi. Selesai memperhatikan bagian atas, pandangan akan meluncur ke bawah” (Kiat Jadi Penulis dan Wartawan, BPJ, 1998).
Saya tahu maksud permisalan pak Roesli, dengan mendialogkan kaum Hawa dan Adam supaya lebih gampang memahami uraian.
Judul identik dengan kandungan isi tulisan. Judul sering diartikan sebagai pintu masuk.
Dari tiga penyataan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa, peranan judul amat penting. Untuk merumuskan dan membuat judul memerlukan beberapa langkah.
1. Tulisan yang Dianggap Paling Menarik
Tahapan awal menulis judul yaitu tulis yang paling menarik, yang dianggap dapat menyedot perhatian banyak pembaca. Jangan ragu-ragu tulis saja. Manjakan bayangan-bayangan tulisan yang sedang dan akan kita garap dengan menulis judul sesuai selera waktu menulis. Sekali lagi jangan ragu. Tulis saja.
2. Judul Awal Bukan Hal yang Final
Seiring proses penulisan dari satu alinea ke alinea lainnya, terkadang terjadi pergeseran makna. Substansi tulisan tidak hanya satu jalur. Bisa merembet pada masalah yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan banyak kasus seperti ini.
Jika saat menulis judul pertama kali, kata-kata apa saja harus ditulis bagus, maka pada tingkat kedua harus dilakukan perubahan judul sesuai perjalanan tulisan kata lainnya. Judul awal bukanlah hal yang final kalau terjadi perubahan isi. Sekarang kita baca langkah ketiga.
3. Jika Timbul Judul-judul Lain
Satu judul yang sedang kita rampungkan, tidak jarang beranak dan menjurus pada dualisme judul atau lebih. Apa yang harus kita lakukan? Jangan terlalu panik. Kepanikan menyebabkan frustasi. Akhirnya tidak percaya diri bahwa kita mampu menulis.
Kalau menemukan kenyataan ada judul baru timbul, pilih yang paling mudah, kondisikan dengan referen yang tersedia, dengan kemampuan kita.
Selesai memutuskan judul (yang pertama, kedua, ketiga…..), segera “matikan” judul lainnya. “Kunci” sementara untuk lain waktu dibuka kembali supaya sebuah tulisan segera rampung atau matang dan tidak mengambang.
4. Meminjam Istilah yang Sedang Ngetrend
Istilah yang sedang ngetrend pasti lagi banyak dibicarakan banyak orang. Cara ini sangat efektif menyapa emosi pembaca, membangkitkan gairah membaca isi tulisan. Sumbernya entah dari judul film, iklan, atau pernyataan tokoh berpengaruh.
Beberapa waktu lalu sebuah judul film yang dibintangi Dian Sastro Wardoyo begitu mengemuka, “Ada Apa Dengan Cinta”. Sebelumnya lagi nyanyian Joshua “Diobok-obok”.
Kita bisa memanfaatkan kepopuleran istilah-istilah itu. Dengan membubuhkan pesan yang akan disampaikan. “Ada Apa Dengan….”. Titik-titik diisi dengan nyawa tulisan (pesan). Misal, “Ada Apa dengan RUU Penyiaran, Ada Apa dengan Anggota Dewan, Ada Apa dengan Pemilihan Gubernur, Kehormatan Rakyat Diobok-obok,” dan seterusnya.
5. Gaya Mempengaruhi
Salah satu penulisan judul yang efektif dengan cara nada mempengaruhi. Para akademisi sering mangatakan gaya mempengaruhi dengan sebutan persuasif, kita petik sebuah contoh dari makalah yang ditulis AS. Haris Sumandria, mantan Redaktur Bandung Pos (Alm).
Topik: Keuntungan Mengikuti Pendidikan Retorika
Judul: Tanpa Retorika Kita Tak Berdaya
Dengan memberikan judul “Tanpa Retorika Kita tak Berdaya”, Pak Haris memaparkan, ada dua keuntungan (tujuan) yang ingin dicapai dari penulisan judul itu. Pertama, secara umum mempengaruhi massa. Kedua, lebih khusus lagi yaitu, meyakini berbagai manfaat retorika sekaligus menggiring pembaca untuk mengikuti kursus pelatihan komunikasi di lembaga tempat ia beraktivitas.
6. Boleh Pendek, Boleh Panjang
Umumnya para pembaca lebih menyukai judul dengan menggunakan kalimat pendek atau efektif, kalimat jelas dan singkat serta tidak memerlukan banyak kata.
Panganut (peminat) judul pendek biasanya menulis judul tidak lebih dari enam kata. Misal, “Agar Komunis Tidak Bangkit Lagi”.
Sebenarnya penulisan judul dapat pula dilakukan dengan memanjangkan kata kata tambahan. Lazimnya kata-kata tambahan diberi tanda kurung.
Berikut ini pemanjangan dari judul pendek di atas. “Agar Komunis Tidak Bangkit Lagi” (Upaya Pencegahan Dampak Negatif Paham Komunis Melalui Pendekatan Ekonomi yang Islami).
Jadi, penulisan judul boleh pendek, boleh panjang. Disesuaikan, patutkan dengan selera sendiri, redaktur atau pembaca.
7. Sesuai Isi
Urutan ketujuh inilah yang paling prinsipil. Harga mati. Apa pun gaya tulisan, dengan pendekatan apa saja, penulisan judul harus mencerminkan kandungan isi tulisan.
Mengatasi Keenganan Membaca
Membangun tradisi membaca tidak seperti “main sulap”, sim salabim aba kadabra langsung suka membaca. Tidak. Tapi ia harus dibangun dan dibiasakan. Bagi yang sudah terbiasa membaca sejak kecil sih, tidak ada masalah. Tapi, bagi yang tidak terbiasa membaca sejak kecil, sulit sekali untuk punya tradisi membaca. Keinginan sih ada, tapi baru lihat buku saja, apalagi yang tebal, sudah bete dulu. Atau baru membaca dua atau tiga halaman buku, sudah ngantuk.
Survei membuktikan, tak banyak orang yang memiliki tradisi membaca. Banyak yang lebih memilih tradisi mendengar dan menonton. Padahal, tradisi membaca lebih baik dibanding dengan hanya sekedar menonton dan mendengar. Informasi yang diserap dari kerja membaca jauh lebih efektif dan mengendap ketimbang yang diperoleh dari mendengar dan menonton.
Dalam bahasa Hernowo di bukunya Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza, gizi membaca buku melebihi ceramah atau hal-hal lain yang diperoleh dari telinga (mendengar) dan mata (melihat). Sebab, hanya lewat membaca bukulah kita mampu menumbuhkan saraf-saraf di kepala kita.
Dan, manfaat lainnya, membaca buku akan membuat seseorang tetap berpikir. Seorang peneliti dari Hanry Ford Health System bernama Dr. C. Edward Coffey, sebagaimana dikutip Hernowo, membuktikan bahwa hanya dengan membaca buku, seseorang akan terhindar dari penyakit demensia.
Demensia adalah nama penyakit yang merusak jaringan otak. Apabila seseorang terserang demensia, dapat dipastikan akan mengalami kepikunan atau (dalam bahasa remaja disebut) “tulalit”.
Menurut penelitian Coffey, pendidikan (salah satu pendidikan termudah adalah membaca buku) dapat menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Hal itu dibuktikan dengan meneliti struktur otak 320 orang berusia 66 tahun hingga 80 tahun yang tak terkena demensia.
Lalu bagaimana mengatasi keengganan membaca? Hernowo yang kini menjabat General Manajer Editorial Penerbit Mizan mempunyai kiat-kiat jitu. Dalam bukunya Andaikan Buku Sepotong Pizza ia mengungkapkan kiat-kiat itu. Berikut ini intisari kiat-kiat itu.
1. Mengubah Paradigma Membaca : Menganggap Buku Sebagai Makanan
“Kunci” untuk membuka gembok keengganan membaca buku adalah paradigma. Apa itu paradigma ? Paradigma adalah kacamata. Paradigma adalah cara kita memandang sesuatu.
Bayangkan Anda memiliki kacamata minus 2. Lima tahun kemudian, Anda harus mengganti kacamata Anda dengan kacamata minus 3. Namun, Anda bersikukuh tak mau mengganti kacamata minus 2 Anda. Apa yang terjadi ? Anda akan merasa pusing apabila melihat sesuatu. Inilah akibat yang timbul karena Anda mempertahankan paradigma kacamata minus 2 Anda.
Apa ya paradigma Anda berkaitan dengan membaca buku? Mungkin ini: “Wah, boring deh baca buku yang tebal-tebal itu.” Atau ini: “Setiap kali baca buku ilmiah, saya pasti ngantuk.” “Saya pilih nonton sinetron aja deh ketimbang baca buku. Baca buku bikin kepala cepat botak!”
Itulah paradigma—atau kacamata yang Anda gunakan—dalam membaca buku. Nah, untuk memasuki dunia buku, kita perlu mengubah paradigma (atau kaca mata) dalam memandang buku. Buku sama saja dengan makanan, yaitu makanan untuk ruhani kita. Bayangkan apabila jasmani kita tidak diberi nasi, telur, daging ayam, dan makanan bergizi tinggi lainnya. Apa yang akan terjadi. Tubuh kita akan loyo dan sakit-sakitan.
Demikian jugalah yang terjadi dengan ruhani kita. Buku adalah salah satu jenis “makanan ruhani” kita yang sangat bergizi. Mendengarkan pengajian dan ceramah adalah juga sebentuk “makanan ruhani”. Namun, buku kadang memiliki gizi lebih dibandingkan ceramah.
Lewat paradigma-baru membaca buku—dengan menganggap buku sebagai makanan—kita dapat memperlakukan buku laiknya makanan kesukaan kita. Pertama, agar membaca buku tidak lantas membuat kita mengantuk, pilihlah buku-buku yang memang kita sukai, sebagaimana Anda memilih makanan yang Anda gemari.
Kedua, cicipilah “kelezatan” sebuah buku sebelum membaca semua halaman. Anda dapat mengenali lebih dahulu siapa pengarang buku tersebut. Atau, Anda bisa bertanya kepada seseorang yang menganjurkan Anda untuk membaca sebuah buku (misalnya guru, orangtua, atau sahabat Anda). Mintalah mereka untuk menunjukkan lebih dahulu hal-hal yang menarik yang ada di buku itu.
Ketiga, bacalah buku secara ngemil (sedikit demi sedikit, laiknya Anda memakan kacang goreng). Apabila Anda bertemu dengan buku ilmiah setebal 300 halaman, ingatlah bahwa tidak semua halaman buku itu harus dibaca. Cari saja halaman-halaman yang menarik dan bermanfaat. Anda dapat ngemil membaca pada pagi hari sebanyak 5 halaman. Nanti, pada sore hari, tambah 10 halaman.
2. Membaca dengan Gaya SAVI
Apabila Anda sudah mengubah paradigma membaca buku Anda—bahwa membaca buku seperti memakan pizza—cobalah mulai membaca buku-buku ilmiah saat ini juga. Untuk mempermudah Anda dalam membaca buku, Dave Maier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook, menyajikan tip-tip menarik.
Meier menamai tip-tipnya ini “metode belajar gaya SAVI”. SAVI adalah singkatan dari Somatis (bersifat raga/tubuh), Auditori (bunyi), Visual (gambar), dan Intelektual (merenungkan). Nah, silahkan menggunakan gaya SAVI dalam membaca sebuah buku, sebagaimana petunjuk berikut.
Pertama, membaca secara Somatis. Ini berarti, pada saat membaca, cobalah Anda tidak hanya duduk. Berdiri atau berjalan-jalanlah saat membaca buku. Gerakkan tubuh Anda saat membaca. Misalnya, setelah membaca 5 atau 7 halaman, berhentilah sejenak. Gerakkan tangan, kaki, dan kepala Anda. Setelah itu, baca kembali buku Anda.
Kedua, membaca secara Auditori. Cobalah sesekali membaca dengan menyuarakan apa yang Anda baca itu (dijaharkan). Lebih-lebih bila Anda menjumpai kalimat-kalimat yang sulit dicerna. Insya Allah, telinga Anda akan membantu mencernanya.
Ketiga, membaca secara Visual. Ini berkaitan dengan kemampuan dahsyat Anda yang bernama imajinasi atau kekuatan membayangkan. Cobalah bayangkan saat Anda membaca sebuah konsep atau gagasan. Kalau perlu, gambarlah! Ini, insya Allah, juga akan mempercepat pemahaman Anda.
Keempat, membaca secara Intelektual. Ini juga berkaitan dengan kemampuan luar biasa Anda. Anda perlu jeda atau berhenti sejenak setelah membaca. Dan renungkanlah manfaat yang Anda peroleh dari pembacaan Anda. Akan lebih bagus apabila—saat merenung itu—Anda juga mencatat hal-hal penting yang Anda peroleh dari halaman-halaman sebuah buku. Insya Allah, Anda akan dimudahkan dalam menuangkan atau menceritakan kembali apa-apa yang Anda baca.
Kiat-kiat di atas hanyalah beberapa petunjuk praktis yang diharapkan dapat membantu memotivasi Anda untuk tak lagi enggan membaca buku. Agar hasilnya lebih bagus, penguatan internalisasi akan pentingnya membaca dalam kehidupan harus dilakukan. Agar pembacaan Anda lebih bermakna. Sehingga aktivitas membaca akan lebih langgeng dan bukan semata bertujuan karena Anda ingin menjadi seorang penulis buku.
Dorongan ingin (menjadi) penulis buku, dengan demikian, hanya satu saja dari sekian dampak positif yang akan Anda dapatkan dengan tradisi membaca yang kuat. Itu pun harus diniati, menulis bukunya untuk berdakwah: menyampaikan kebenaran, mengajak manusia kepada jalan yang lurus, dan menghindarkan manusia dari jalan hidup yang sesat. Untuk itu, mari kita baca dan tafakkuri kembali wahyu pertama Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 agar kita senantiasa mengingat bahwa aktivitas membaca adalah pesan penting pertama Al-Quran yang sudah selayaknya kita sambut untuk menjadi bagian dalam hidup kita.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Gagal Menjadi Penulis Sukses, Kenapa?
Saya akan coba mengurai sejumlah penyebab kegagalan menjadi penulis. Dalam bidang apa pun kegagalan adalah jenis makhluk yang bikin tidak enak bagi yang menjalaninya. Kita perhatikan dan kenali 7 sebab kegagalan dalam proses olah tulis menulis.
1. Belajar Teori Saja
Aa Gym sering mengingatkan, “satu langkah bukti nyata, lebih baik daripada seribu teori”. Saya setuju dengan apa yang dikemukakan Aa Gym.
Prestasi apa yang dapat dihasilkan oleh generasi, yang cuma berhenti sampai tingkat teori saja. Dalam olah tulis menulis, betapa banyak jebolan perguruan tinggi, ditambah alumni kursus-kursus pelatihan menulis atau mengarang, tapi tidak pernah mampu menyelesaikan barang sejudul pun.
Maka tidak heran jika Abu Al-Ghifari sewaktu aktif di Ash-Shidiq Intelectual Forum, sebuah lembaga pelatihan
jurnalistik yang dipimpinnya, menerima banyak keluhan dari sarjana S1. Keluhan mereka yaitu tidak bisa menulis.
Kata DR. Deddy Mulyana, di negeri semisal Amerika, adalah kenyataan aneh bila seorang dosen tidak bisa menulis. Dan apalagi bergelar S2 atau S3. Dengan semangat tinggi, Bambang Trim mengutip sebuah pernyataan dari pusat pendidikan AS, bahwa “semua ilmuwan adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku.”
Saya sepakat dengan Abu Al-Ghifari, kesulitan menulis bagi kaum intelektual bukan terletak pada teori tulis menulis. Tetapi karena malas mempraktekkannya. Kesimpulannya, siapa pun yang hanya mempelajari teorinya saja, tidak akan pernah bisa menulis.
2. Ide Sebatas Ide
Boleh jadi ide sudah berjumpalitan di otak kepala. Mungkin baru saat ide ditemukan rasanya tiada duanya. Perkiraan ide belum ditulis oleh penulis lainnya. Terbayanglah di benak kita ide ini paling mutakhir bernilai jual tinggi.
Tetapi sayang, ide hanyalah bunga-bunga khayalan. Akhirnya, bunga-bunga ide lesu dimakan waktu. Dan terkejutlah saat membaca tulisan yang ide utamanya sama. Rugilah kalau ide sebatas ide.
3. Menulis yang Tidak Disukai
Bicara mengenai tingkat kelancaran sekaligus kemandegannya, antara komunikasi lisan dan tulisan terdapat kesamaan. Jalaluddin Rakhmat dalam “Retorika Modern” (Rosda Karya, 1992) menjelaskan, apa pun isi ceramah yang disampaikan ke khalayak akan menjadi menarik bila materi itu dikuasai.
Lalu timbul kesimpulan, ceramah yang disampaikan, amat tidak menarik, jika mengucapkan apa-apa yang tidak dikuasai.
Begitu pula dengan tulis menulis. Nulis apa saja kalau kita menguasai materinya pasti lancar meski tidak bebas hambatan. Sebaliknya, nulis apa pun sekiranya materi tidak dikuasai, niscaya menemui kemandegan atau kebuntuan.
Jangan cuma karena ingin gagah-gagahan, kita menulis bahasan yang sebenarnya kita tidak memahami. Contoh: kita hendak menulis tentang Pemilu (Pemilihan Umum). Sementara pengetahuan mengenai Pemilu tidak memadai bahkan masih terbilang buta. Maksudnya, jangan memaksakan diri.
Setiap penulis memiliki spesialisasi ilmu yang khas. Jangan terjebak pada arus gemuruh emosi sesaat. Ukurlah kemampuan diri.
4. Cepat Puas
Tidak sedikit penulis pemula yang tulisannya berhasil dimuat media massa. Tidak cuma lokal, bahkan ada yang menembus media berskala nasional.
Namun sangat disayangkan, mereka cepat sekali merasa puas dengan capaian seperti itu. Mereka terlena dengan satu, dua tulisan yang dimuat dibangga-banggakan di setiap waktu dan diedarkan ke setiap forum pertemuan. Tentu saja bangga itu boleh, tetapi bila dalam waktu yang cukup lama kemudian tidak lagi menulis, nanti akan lupa bagaimana caranya menulis. Akibatnya sulit lagi untuk menulis.
Cepat puas dalam konteks ini dapat menimbulkan kemacetan total. Sayang, padahal sudah terbukti mampu menulis.
5. Ingin Cepat Populer
Para penulis pemula utamanya punya kebiasaan buruk, yakni ingin cepat popular. Terkadang lupa bahwa ketenaran, kepopularan, keterkenalan memerlukan proses waktu yang panjang dan perjuangan sangat keras. Tidak cukup dalam waktu singkat sebab profesi menulis bukan pekerjaan instan.
Tidak adil jika kita menuntut diri dengan harapan sosial yang tak proporsional. Robert B. Downs penulis “Buku-buku yang Merubah Dunia” (PT. Pembangunan Djakarta, 1959) mengungkap, banyak para penulis yang menggerakkan sejarah menulis di usia paruh baya atau tua: 44-54 tahun. Dua di antaranya, Thomas Paine dan Adolf Hitler (lepas dari kejahatannya). Paine dinilai sebagai pelopor kemerdekaan Amerika dengan karyanya “Pikiran Sehat (Common Sense).” Sedangkan Hitler penulis “Perjuanganku (Mein Kampf)” begitu kuat mempengaruhi gerakan komunis.
Hikmah yang kita petik adalah meraih popularitas perlu waktu panjang. Penulis yang tidak tahan proses, jelas akan gagal.
6. Macet Terjebak Honor
Bagi penulis senior, apa lagi yang idealis, kegiatan menulis tidak lagi (terutama) untuk mencari honor. Buat mereka yang terpenting ide sudah tersebar. Memasarkan ide ke lebih banyak orang dan kalangan. Berbeda dengan penulis pemula, yang dicari adalah honor berupa uang. Kelompok kedua jelas lebih banyak jumlahnya, ketimbang kelompok pertama.
Di bulan Oktober 1996, dua tulisan saya dimuat sebuah harian lokal. Senang bukan bikinan. Selang seminggu, setelah pemuatan tulisan kedua, saya menghubungi bagian yang bertugas mengurusi honor. Waktu itu saya kecewa berat, karena katanya tidak ada honor untuk penulis luar. Sifatnya hanya menyumbang naskah. Petugas itu mohon maaf ditambah basa-basi sedikit. Saya pun segera tahu, dan sangat memaklumi koran lokal yang memuat tulisanku, sedang berjuang keras memperpanjang umurnya. Cerita yang sama dialami Toha Nasrudin, nama lahir Abu Al-Ghifari sewaktu saya berkunjung ke Mujahid Press. Ia menyatakan, “tulisan saya sudah 20 judul tidak dihonor oleh media yang sama, tapi bukan uang sebagai tujuan.”
Pembaca Budiman, sekiranya Abu Al-Ghifari berhenti menulis gara-gara tidak dihonor, pasti ia tidak seproduktif sekarang yang telah menulis puluhan buku itu. Jika pembaca mengalami hal demikian, kecewa boleh, tapi jangan dipelihara. Ambil positifnya saja. Dimuat pun sudah beruntung.
7. Membesar-besarkan Kelemahan Sendiri
Bicara kelemahan, siapa yang terlepas dari kelemahan. Semua punya. Jangan perbesar kekurangan. Apalagi kita umbar ke setiap orang. Bisa-bisa yang mendengarkan jadi pusing dan jengkel.
Biasanya kelemahan itu berupa: tidak ada waktu, kurang referen, tidak ada bakat menulis dan bukan keturunan penulis.
Begitu sering pengamat politik muda usia Eep Saefullah Fatah menulis kolom saat menyetir. Caranya, Eep ngomong soal politik, sedang istrinya mencatat yang dibicarakannya. Ada bekas menteri yang mengetik di atas kendaraan. Hernowo mengaku bukan keturunan penulis. Ketiga orang ini jelas memiliki kelemahan dalam mengolah tulisannya, namun mereka tetap produktif.
Pembaca budiman, semakin meyakini lemah dan memperbesar kelemahan dalam menulis, tambah dalamlah diri kita memasuki wilayah kegagalan menjadi penulis.